-->
Notes and memorial ^_^

Selasa, 07 Januari 2014

Pertusis



MAKALAH EPIDEMIOLOGI
“Pertusis”
Dosen Pengampu : Nur Alvira P, SKM. MPH

Disusun Oleh :

Nama               : Ni Made Sri Dewi W.S
Nim                  : 11150241
Kelas               : A.86

DIII – KEBIDANAN
FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS RESPATI YOGYAKARTA
2013/2014


KATA PENGANTAR


Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada penyusun sehingga makalah Epidemiologi ini yang berjudul “Pertusis” dapat selesai dalam jangka waktu yang telah ditetapkan.
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Epidemiologi, dimana sumber materi diambil dari beberapa media pendidikan guna menunjang keakuratan materi yang nantinya akan disampaikan.
Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu, penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca.
Semoga makalah ini dapat menambah wawasan dan berguna bagi pembaca. Akhir kata penyusun mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.


                             
Yogyakarta,   Januari 2014



       Penyusun

DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR.. 1
DAFTAR ISI. 2
BAB I PENDAHULUAN.. 3
1. 1.      Latar Belakang. 3
1. 2.      Rumusan Masalah.. 4
1. 3.      Tujuan.. 4
BAB II ISI. 5
2.1        Definisi Pertusis. 5
2.2        Etiologi 5
2.3        Epidemiologi 6
2.4        Patogenesis. 7
2.5        Manifestasi Klinis. 8
2.6        Diagnosis. 9
2.7        Komplikasi 10
2.8        Pencegahan.. 11
2.9        Pengobatan.. 12
BAB III PENTUTUP.. 14
3.1        Kesimpulan.. 14
3.2        Saran.. 14
DAFTAR PUSTAKA.. 15

BAB I PENDAHULUAN

1. 1.                  Latar Belakang

Pertusis atau yang lebih dikenal orang awam sebagai “batuk rejan” atau “batuk 100 hari” merupakan salah satu penyakit menular saluran pernapasan yang sudah diketahui adanya sejak tahun 1500-an. Penyebab tersering dari pertusis adalah kuman gram (-) Bordetella pertussis.
Di seluruh dunia insidensi pertussis banyak didapatkan pada bayi dan anak kurang dari 5 tahun.. meskipun anak yang lebih besar dan orang dewasa masih mungkin terinfeksi oleh B.pertussis. Insidensi terutama didapatkan pada bayi atau anak yang belum diimunisasi.
Dahulu pertusis adalah penyakit yang sangat epidemic karena menyerang bukan hanya negara-negara berkembang namun juga beberapa bagian dari negara maju, seperti Amerika Serikat, Italia, Jerman. Namun setelah mulai digalakkannya vaksinasi untuk pertusis, angka kematian bisa ditekan hingga 10/10.000 populasi. Seiring dengan semakin berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, pertusis diharapkan tidak diketemukan lagi, meskipun ada kasusnya namun tidak signifikan atau kurang.
Dengan mendiagnosa secara dini kasus pertusis, dari gejala klinis,foto roentgen, dan pemeriksaan penunjang lainnya, diharapkan para klinisi mampu memberikan penanganan yang tepat dan cepat sehingga derajat penyakit pertusis tidak menimbulkan komplikasi yang lebih lanjut, seperti ensefalopati, Respiratory distress syndrome, dan penyakit paru-sistemik lainnya.

1. 2.                  Rumusan Masalah

 a.          Apa Definisi dari Pertusis ?
 b.          Bagaimana Etiologi dari Pertusis ?
 c.          Bagaimana Patogenesis dari Pertusis ?
 d.          Apasaja Manifestasi Klinis dari Pertusis ?
 e.          Bagaimana  Diagnosis dari Pertusis ?
 f.           Apasaja Komplikasi dari Pertusis ?
 g.          Bagaimana Cara Pencegahan dari Pertusis ?
 h.          Bagaimana Pengobatan dari Pertusis ?

1. 3.                  Tujuan

Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Epidemiologi dan agar mahasiswa lebih mengetahui tentang penyakit pertusis.

BAB II ISI


2.1              Definisi Pertusis

Pertusis adalah infeksi saluran pernafasan akut yang disebabkan oleh berdetellah pertusis (Nelson, 2000)
Pertusis adalah penyakit saluran nafas yang disebabkan oleh berdetella pertusisa, nama lain penyakit ini adalah Tussisi Quinta, whooping cough, batuk rejan. (Arif Mansjoer, 2000)
Pertussis artinya batuk yang intensif, merupakan penyakit infeksi saluran pernafasan akut yang dapat menyerang setiap orang yang rentan seperti anak-anak yang tidak diimunisasi atau pada orang dewasa dengan kekebalan menurun. Istilah pertussis (batuk kuat) pertama kali diperkenalkan oleh Sydenham pada tahun 1670. dimana istilah ini lebih disukai dari “batuk rejan (whooping cough)”. Selain itu sebutan untuk pertussis di Cina adalah “batuk 100 hari”.
Pertussis adalah penyakit yang serius pada anak-anak kecil diseluruh dunia. Pada orang dewasa juga sering terjadi karier yang asimptomatik atau infeksi yang ringan.
Prevalensi pertussis di seluruh dunia sekarang berkurang karena adanya imunisasi aktif.

2.2              Etiologi

Bordetella pertusis merupakan satu-satunya penyebab pertusis epidemik dan merupakan penyebab biasa pertusis sporadis. B. Pertusis merupakan penyebab pertusis kadang-kadang,merupakan kurang dari 5% isolat spesies bordetella diamerika serikat. B. Parapertusis sangat menambah kasus pertusis total didaerah lain seperti denmark,republik ceko, slovakia, dan republik rusia. B. Pertusis dan B. Parapertusis merupakan patogen manusia tersendiri(eksklusif) (dan beberapa primata). B. Bronchiseptica merupakan patogen binatang yang lazim. Kadang kadang laporan kasus pada manusia melibatkan stiap tempat ditubuh dan khas terjadi pada penderita terganggu imun atau anak muda yang terpajan secara tidak biasa pada binatang. Batuk yang tidak sembuh dapat disebabkan oleh mycoplasma. virus parainfluenza atau influenza, enterovirus, virus sinsitial respiratori, atau adeno virus. Tidak ada yang merupakan penyebab pertusis yang penting. 

2.3              Epidemiologi

Pertussis adalah satu dari penyakit-penyakit yang paling menular, dapat menimbulkan “attack rate” 80-100% pada penduduk yang rentan. Di seluruh dunia ada 60 juta kasus pertusis setahun dengan lebih dari 500.000 meninggal. Selama masa pra-vaksin tahun 192-1948, pertusis adalah penyebab utama kematian dari penyakit menular pada anak di bawah usia 14 tahun di Amerika Serikat. Dilaporkan juga bahwa 50 persen adalah bayi kurang dari setahun, 75 persen adalah anak kurang dari 5 tahun.
Pertusis terutama mewabah di negara-negara berkembang dan maju, seperti Italian, daerah-daerah tertentu di Jerman dimana cakupan vaksin rendah atau Nova Scatia dimana digunakan vaksin yang kurang poten, dengan angka insidensi rata-rata mencapai 200-500/100.000 populasi dengan angka kematian 350.000 pada anak dibawah 5 tahun.2 Di Amerika Serikat sendiri dilaporkan insidensi tertinggi 4500 kasus sejak tahun 1967. namun setelah hal tersebut, pertusis jarang sekali kasusnya karena sudah lebih di galakkan vaksinasi.
Pertusis adalah endemik, dengan ditumpangin siklus endemik setiap 3-4 tahun sesudah akumulasi kelompok rentan yang cukup besar. Dilaporkan sebagian kasus terjadi dari bulan Juli sampai dengan Oktober. 1,3. Pertusis sangat menular dengan angka serangan 100% pada individu rentan yang terpajan pada aerosol dengan rentang yang rapat. Penyebaran terjadi melalui kontak langsung atau melalui droplet yang ditularkan selama batuk.
Dahulu dikatakan bahwa Perempuan terkena lebih sering daripada laki-laki dengan perbandingan 0.9:1 . Namun dengan laporan terbaru (Farizo, 1992) perbandingan insidensi antara perempuan dan laki-laki menjadi sama sampai umur dibawah 14 tahun. Sedangkan proporsi anak belasan tahun dan orang dewasa yang terinfeksi pertusis naik secara bersama samapai 27% pada tahun 1992-1993.
Tanpa reinfeksi alamiah dengan B.pertussis atau vaksinasi booster berulang, anak yang lebih tua dan orang dewasa lebih rentan terhadap penyakit ini jika terpajan. Sedangkan antibodi dari ibu secara transplasental pada anak tidaklah konsisten mencegah bayi yang baru lahir terhadap pertussis. Pertussis pada neonatus yang berat dapat ditemukan dengan gejala-gejala pertussis normal.

2.4              Patogenesis

Bordella merupakan kokobasili gram negatif yang sangat kecil yang tumbuh secara aerobik pada agar darah tepung atau media sintetik keseluruhan dengan faktor pertumbuhan dengan faktor tikotinamid, asam amino untuk energi dan arang atau resin siklodekstrin untuk menyerap bahan-bahan berbahaya.
Bordella pertusis menghasilkan beberapa bahan aktif secara biologis, banyak darinya dimaksudkan untuk memainkan peran dalam penyakit dan imunitas. Pasca penambahan aerosol, hemaglutinin felamentosa (HAF), beberapa aglutinogen (terutama FIM2 dan Fim3), dan protein permukaan nonfibria 69kD yang disebut pertaktin (PRN) penting untuk perlekatan terhadap sel epitel bersilia saluran pernafasan. Sitotoksin trakhea, adenilat siklase, dan TP tampak menghambat pembersihan organisme. Sitotoksin trakhea, faktor demonekrotik, dan adenilat siklase diterima secara dominan, menyebabkan cedera epitel lokal yang menghasilkan gejala-gejala pernapasan dan mempermudah penyerapan TP. TP terbukti mempunyai banyak aktivitas biologis (misal, sensitivitas histamin, sekresi insulin, disfungsi leukosit). Beberapa darinya merupakan manifestasi sistemik penyakit. TP menyebabkan limfositisis segera pada binatang percobaan dengan pengembalian limfosit agar tetap dalam sirkulasi darah. TP tampak memainkan peran sentral tetapi bukan peran tunggal dalam patogenesis.

2.5              Manifestasi Klinis

Masa inkubasi pertusis rata-rata 7 hari (6-20 hari). Penyakit umumnya berlangsung selama 6-8 minggu.
Manifestasi klinik tergantung dari etiologi spesifik, umur dan status imunisasi. Penderita-penderita yang berumur <> 2 tahun. Jarang timbul panas diatas 38,4°C pada semua golongan umur.
Penyakit disebabkan B. parapertussis dan B. bronkiseptika lebih ringan dan juga lama sakitnya lebih pendek.
Penyakit ini dibagi menjadi 3 stadium, yaitu:
A.     Stadium kataral : 1-2 minggu
Gejala-gejala infeksi saluran pernafasan bagian atas predominan à rinore, “conjuctival injection”, lakrimasi, batuk ringan, panas tidak begitu tinggi. Pada stadium ini biasanya diagnosis pertussis belum dapat ditetapkan.
B.     Stadium paroksismal :  2-4 minggu
Jumlah dan berat batuk bertambah. Khas, ada ulangan 5-10 batuk kuat selama ekspirasi yang diikuti oleh usaha inspirasi masif yang mendadak yang menimbulkan “whoop” ( udara dihisap secara kuat melalui glotis yang sempit).
Mukanya merah atau sianosis, mata menonjol, lidah menjulur, lakrimasi, salivasi dan distensi vena leher selama serangan. Episode batuk-batuk yang paroksimal dapat terjadi lagi sampai obstruksi “mucous plug” pada saluran nafas menghilang.
Pada stadium paroksismal dapat terjadi petekia pada kepala dan leher atau perdarahan konjungtiva. Emesis sesudah batuk dengan paroksimal adalah cukup khas sehingga anak dicurigai menderita pertussis walaupun tidak ada “whoop”. Anak tampak apatis dan berat badan menurun. Serangan-serangan dapat dirangsang dengan menguap, bersin, makan, minum, aktivitas fisik atau malahan sugesti. Diantara serangan penderita tampak sakit minimal dan lebih enak. “Whoop” dapat tidak ditemukan pada beberapa penderita terutama bayi-bayi muda.
C.     Stadium Konvalesens : 1-2 minggu
Episode paroksimal batuk dan muntah sedikit demi sedikit menurun dalam frekuensi dan beratnya. Batuk dapat menetap untuk beberapa bulan. Pemeriksaan fisik umumnya tidak informatif.
Pada stadium paroksismal dapat terjadi petekia pada kepala dan leher atau perdarahan konjungtiva. Pada beberapa penderita terjadi ronki difus.

2.6              Diagnosis

 a.    Pertusis dapat didiagnosis selama stadium paroksismal. Sukar pada bayi-bayi yang sangat muda, adolesens, dan pada orang dewasa oleh karena mempunyai manifestasi yang atipis.
 b.    Riwayat kontak dengan kasus-kasus pertusis sangatlah menolong, tetapi umumnya riwayat ini negatif pada populasi yang telah banyak mendapat imunisasi.
 c.     Batuk lebih dari 2 minggu dengan emesis sesudah batuk mempunyai nilai diagnostik yang penting.
 d.    Leukositosis (20.000-50.000/mm³ darah) dengan limfositosis absolut khas, pada bayi-bayi jumlah leukosit tidak dapat menolong untuk diagnosis, oleh karena respon limfositosis terdapat pula pada banyak infeksi.
 e.    Foto toraks dapat memperlihatkan infiltrat perihiler, atelaktasis atau empiema.
 f.      Diagnostik spesifik tergantung dari didapatkannya organisme, terbaik diperiksa selama fase awalpenyakit dengan melakukan apus nasofaring yang dibiak pada media Bordet-Gengou. “Direct flourescent antibody staining” dari spesimen faring dapat membedakan diagnosis spesifik secara tepat.
 g.    Diagnosis serologis dapat dilakukan dengan penentuan antibodi toksin pertussis dari sepasang serum.
 h.    Tes ELISA dapat dipakai untuk menentukan IgM, IgG, dan IgA serum terhadap “filamentous hemoaglutinin (FHA)” dan toksin pertussis (TP). nilai IgM-FHA dan IgM-TP serum tidak bernilai dalam penentuan seropositif oleh karena menggambarkan respon imun primer dan dapat disebabkan oleh penyakit atau vaksinasi. IgG langsung terhadap toksin pertussis merupakan test yang paling sensitif dan spesifik untuk infeksi akut. IgA-FHA dan IgA-TP kurang sensitif daripada IgG-TP tetapi sangat spesifik untuk infeksi natural dan tidak terlihat sesudah imunisasi pertussis.
 i.      Tidak ada test tunggal berlaku saat ini yang sangat sensitif dan sangat spesifik untuk menentukan infeksi B. pertussis selama semua fase penyakit.
 j.      Kultur paling positif pada fase kataral dan awal paroksimal dan seharusnya dilakukan pada semua kasus yang tersangka. Test serologis berguna pada stadium lanjut penyakit dan untuk menentukan adanya infeksi pada individu dengan kultur negatif.

2.7              Komplikasi

a.      Terutama pada sistem respirasi dan saraf pusat.
Pneumonia komplikasi paling sering terjadi pada ±90% kematian pada anak-anak. B.Pertussis sendiri tetapi lebih sering karena bakteria sekunder (H.influenzae, S.Pneumonia, S.auris, S.piogenes).
b.     TBC laten dapat juga di aktifer.
c.      Atelektasis dapat timbul sekunder oleh karena ada sumbatan mukus yang kental. Aspirasi mukus atau muntah dapat menimbulkan pneumonia.
d.     Panas tinggi sering menandakan adanya infeksi sekunder oleh bakteria.
e.      Batuk dengan tekanan tinggi dapat menimbulkan ruptur alveoli, empisema interstitiel/subkutan dan pneumotoraks. Bronkiektasia dapat timbul dan menetap.
f.       Sering terjadi otitis media yang sering disebabkan oleh S.pneumonia. Perdarahan subkonjungtiva, hematoma, perdarahan epidural, perdarahan intrakranial, ruptura diafragma, hernia umbikalis, hernia inguinalis, prolapsus rekti, dehidrasi dan gangguan nutrisi.
g.      Dapat pula terjadi konvulsi dan koma, merupakan refleksi dari hipoksia serebral (asfiksia), perdarahan subarachnoid, tetapi kadang-kadang kejang dapat disebabkan oleh temperatur tinggi.
h.     Kejang-kejang oleh karena hiponatremia yang sekunder terhadap “syndrome of inappropriate secretion of antidiuretic hormone (SIADH)”.

2.8              Pencegahan

Pencegahan yang dilakukan secara aktif dan secara pasif:
a.      Secara aktif
1.      Dengan pemberian imunisasi DTP dasar diberikan 3 kali sejak umur 2 bulan(DTP tidak boleh dibrikan sebelum umur 6 minggu)dengan jarak 4-8 minggu. DTP-1 deberikan pada umur 2 bulan,DTP-2 pada umur 4 bulan dan DTp-3 pada umur 6 bulan. Ulangan DTP selanjutnya diberikan 1 tahun setelah DTP-3 yaitu pada umur 18-24 bulan,DTP-5 pada saat masuk sekolah umur 5 tahun. Pada umur 5 tahun harus diberikan penguat ulangan DTP. Untuk meningkatkan cakupan imunisasi ulangan,vaksinasi DTP diberika pada awal sekolah dasar dalam program bulan imunisasi anak sekolah(BIAS).
Beberapa penelitian menyatakan bahwa vaksinasi pertusis sudah dapat diberikan pada umur 1 bulan dengan hasil yang baik sedangkan waktu epidemi dapat diberikan lebih awal lagi pada umur 2-4 minggu.
Kontra indikasi pemberian vaksin pertusis :
ü  Panas yang lebih dari 38 derajat celcius
ü  Riwayat kejang
ü  Reaksi berlebihan setelah imunisasi DTP sebelumnya, misalnya suhu tinggi dengan kejang, penurunan kesadaran, syok atau reaksi anafilaktik lainnya.
2.       Perawat sebagai edukator
Melakukan penyuluhan kepada masyarakat khususnya kepada orang tua yang mempunyai bayi tentang bahaya pertusis dan manfaat imunisasi bagi bayi.

b.           Secara pasif
Secara pasif pencegahan dapat dilakukan dengan memberikan kemopropilaksis. Ternyata eritromisin dapat mencegah terjadinya pertussis untuk sementara waktu.

2.9              Pengobatan

 a.    Eritromisin : 50 mg/kg BB/hari selama 114 hari dapat mengeliminasi organisme pertussis dari nasofaring dalam 3-4 hari.
 b.    Eritromisin biasanya tidak memperbaiki gejala-gejala jika diberikan terlambat.
 c.     Suportif : terutama menghindarkan faktor-faktor yang menimbulkan serangan batuk, mengatur hidrasi dan nutrisi
 d.    Oksigen diberikan pada distres pernapasan akut/kronik.
 e.    Penghisapan lendir terutama pada bayi dengan pneumonia dan distres pernapasan.
 f.      Betametason dan salbutamol (albuterol) dapat mengurangi batuk paroksismal yang berat walaupun kegunaannya belum dibuktikan melalui penelitian kontrol.
 g.    Penekan batuk (“suppressants”) tidak menolong.

BAB III PENTUTUP

 
3.1              Kesimpulan
Pertusis merupakan salah satu penyakit menular yang menyerang saluran pernapasan bagian atas, disebabkan terutama oleh Bordetella pertussis. Pertusis ditandai dengan batuk lama dan kadang-kadang terdengar seperti menggonggong (whooping cough) dan episode diakhir dengan ekspulsi dari secret trakea,silia lepas dan epitel nekrotik.
Pertusis sering menyerang bayi dan anak-anak kurang dari 5 tahun, terutama yang belum diimunisasi lebih rentan, demikian juga dengan anak lebih dari 12 tahun dan orang dewasa.
Stadium penyakit pertusis meliputi 3 stadium yaitu kataral, paroxsismal, dan konvalesen. Masing2 berlangsung selama 2 minggu. Pada bayi, gejala menjadi lebih jelas justru pda stadium konvalesen. Sedangkan pada orang dewasa mencapai puncaknya pada stadium paroxsismal.
Diagnosa pertusis dengan gejala klinis memuncak pada stadium paroksismal, riwayat kontak dengan penderita pertusis, kultur apus nasofaring, ELISA, foto thorax. Terapi yang dapat diberikan antibiotic eritromisin 50mg/kgB/hari dibagi 4 dosis selama 14 hari, dan suportif.

3.2              Saran

Bayi sangat rentan terhadap infeksi pertusis, oleh karena itu dianjurkan pemberian vaksin DTP pada usia 2, 4, dan 6 bulan sesuai dengan Program Pengembangan Imunisasi untuk mencegah infeksi yang berat. Vaksin booster dianjurkan pada usia 4 tahun dan 15 tahun karena imunisasi dasar pertusis tidak memberi kekebalan permanen. Selain itu bila ada kontak erat dengan penderita pertusis perlu diberikan profilaksis eritromisin dan isolirkan penderita, jika tidak mungkin memutus kontak, maka perlu diberi eritromisin profilaksis hingga batuk berhenti.

DAFTAR PUSTAKA


Behram, klieman & Nelson. 2000. ”Ilmu kesehatan anak”. Jakarta : EGC
Mansjoer, Arif. 2000. Kapita selekta Kedokteran jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius
http://referensikedokteran.blogspot.com/2010/07/pertusis.html. Diterbitkan tanggal 19 Juli 2010. Diunggah tanggal 04 Januari 2014.
 

Diposting oleh Unknown di 07.50 Tidak ada komentar:
Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Bagikan ke XBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest
Label: Epidemiologi
Postingan Lama Beranda
Langganan: Postingan (Atom)

My Self ^^

Unknown
Lihat profil lengkapku

About

Welcome to my blog Blog ini kebanyakan berisi tentang ilmu kebidanan Semoga dapat bermanfaat... enjoy to my blog :)

Categories

Asuhan Kebidanan I (1) Asuhan Kebidanan II (1) Asuhan Kebidanan IV (10) Asuhan Kebidanan Neonatus Bayi dan Balita (4) Bahasa Indonesia (1) Biokimia (1) Biologi Reproduksi (1) Epidemiologi (1) Ilmu Kesehatan Masyarakat (2) Kesehatan Reproduksi (1) Komputer (2) Konsep Kebidanan (2) Mutu Pelayanan Kebidanan (1) Organisasi dan Manajemen Pelayanan Kebidanan (2) Penjaskes (1) Promosi Kesehatan (3)

Search

Arsip Blog

  • ▼  2014 (2)
    • ▼  Januari (2)
      • Pertusis
      • Makalah Rekam Medis
  • ►  2013 (21)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (7)
    • ►  Maret (5)
    • ►  Februari (6)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2012 (7)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (2)
    • ►  September (1)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (2)
  • ►  2011 (2)
    • ►  November (1)
    • ►  Oktober (1)
  • ►  2010 (2)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (1)

Widget-Animasi-Blog

Follow My Fanspage ^^

Daftar Isi

Follower

Diberdayakan oleh Blogger.