MAKALAH EPIDEMIOLOGI
“Pertusis”
Dosen Pengampu : Nur
Alvira P, SKM. MPH
Disusun Oleh :
Nama : Ni Made Sri Dewi W.S
Nim :
11150241
Kelas :
A.86
DIII –
KEBIDANAN
FAKULTAS
ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS
RESPATI YOGYAKARTA
2013/2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan
Yang Maha Esa yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada penyusun
sehingga makalah Epidemiologi ini yang berjudul “Pertusis” dapat selesai dalam
jangka waktu yang telah ditetapkan.
Makalah ini disusun untuk
memenuhi tugas mata kuliah Epidemiologi, dimana sumber materi diambil dari
beberapa media pendidikan guna menunjang keakuratan materi yang nantinya akan
disampaikan.
Penyusun menyadari
sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu,
penyusun mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dari pembaca.
Semoga makalah ini dapat
menambah wawasan dan berguna bagi pembaca. Akhir kata penyusun mengucapkan
terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah
ini.
Yogyakarta, Januari 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
1. 1. Latar Belakang
Pertusis atau yang lebih dikenal orang awam sebagai
“batuk rejan” atau “batuk 100 hari” merupakan salah satu penyakit menular
saluran pernapasan yang sudah diketahui adanya sejak tahun 1500-an. Penyebab
tersering dari pertusis adalah kuman gram (-) Bordetella pertussis.
Di seluruh dunia insidensi pertussis banyak didapatkan
pada bayi dan anak kurang dari 5 tahun.. meskipun anak yang lebih besar dan
orang dewasa masih mungkin terinfeksi oleh B.pertussis. Insidensi terutama
didapatkan pada bayi atau anak yang belum diimunisasi.
Dahulu pertusis adalah penyakit yang sangat epidemic
karena menyerang bukan hanya negara-negara berkembang namun juga beberapa
bagian dari negara maju, seperti Amerika Serikat, Italia, Jerman. Namun setelah
mulai digalakkannya vaksinasi untuk pertusis, angka kematian bisa ditekan
hingga 10/10.000 populasi. Seiring dengan semakin berkembangnya ilmu
pengetahuan dan teknologi, pertusis diharapkan tidak diketemukan lagi, meskipun
ada kasusnya namun tidak signifikan atau kurang.
Dengan mendiagnosa secara dini kasus pertusis, dari
gejala klinis,foto roentgen, dan pemeriksaan penunjang lainnya, diharapkan para
klinisi mampu memberikan penanganan yang tepat dan cepat sehingga derajat
penyakit pertusis tidak menimbulkan komplikasi yang lebih lanjut, seperti
ensefalopati, Respiratory distress syndrome, dan penyakit paru-sistemik
lainnya.
1. 2. Rumusan Masalah
a.
Apa Definisi dari Pertusis ?
b.
Bagaimana Etiologi dari Pertusis ?
c.
Bagaimana Patogenesis dari Pertusis ?
d.
Apasaja Manifestasi Klinis dari Pertusis ?
e.
Bagaimana
Diagnosis dari Pertusis ?
f.
Apasaja Komplikasi dari Pertusis ?
g.
Bagaimana Cara Pencegahan dari Pertusis ?
h.
Bagaimana Pengobatan dari Pertusis ?
1. 3. Tujuan
Tujuan
penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Epidemiologi dan agar
mahasiswa lebih mengetahui tentang penyakit pertusis.
BAB II ISI
2.1 Definisi Pertusis
Pertusis adalah infeksi saluran pernafasan akut yang
disebabkan oleh berdetellah pertusis (Nelson, 2000)
Pertusis adalah penyakit saluran nafas yang disebabkan
oleh berdetella pertusisa, nama lain penyakit ini adalah Tussisi Quinta,
whooping cough, batuk rejan. (Arif Mansjoer, 2000)
Pertussis artinya batuk yang intensif, merupakan
penyakit infeksi saluran pernafasan akut yang dapat menyerang setiap orang yang
rentan seperti anak-anak yang tidak diimunisasi atau pada orang dewasa dengan
kekebalan menurun. Istilah pertussis (batuk kuat) pertama kali diperkenalkan
oleh Sydenham pada tahun 1670. dimana istilah ini lebih disukai dari “batuk
rejan (whooping cough)”. Selain itu sebutan untuk pertussis di Cina adalah
“batuk 100 hari”.
Pertussis adalah penyakit yang serius pada anak-anak
kecil diseluruh dunia. Pada orang dewasa juga sering terjadi karier yang
asimptomatik atau infeksi yang ringan.
Prevalensi pertussis di seluruh dunia sekarang
berkurang karena adanya imunisasi aktif.
2.2 Etiologi
Bordetella pertusis merupakan satu-satunya penyebab
pertusis epidemik dan merupakan penyebab biasa pertusis sporadis. B. Pertusis
merupakan penyebab pertusis kadang-kadang,merupakan kurang dari 5% isolat
spesies bordetella diamerika serikat. B. Parapertusis sangat menambah kasus
pertusis total didaerah lain seperti denmark,republik ceko, slovakia, dan
republik rusia. B. Pertusis dan B. Parapertusis merupakan patogen manusia
tersendiri(eksklusif) (dan beberapa primata). B. Bronchiseptica merupakan
patogen binatang yang lazim. Kadang kadang laporan kasus pada manusia
melibatkan stiap tempat ditubuh dan khas terjadi pada penderita terganggu imun
atau anak muda yang terpajan secara tidak biasa pada binatang. Batuk yang tidak
sembuh dapat disebabkan oleh mycoplasma. virus parainfluenza atau influenza,
enterovirus, virus sinsitial respiratori, atau adeno virus. Tidak ada yang
merupakan penyebab pertusis yang penting.
2.3 Epidemiologi
Pertussis adalah satu dari penyakit-penyakit yang
paling menular, dapat menimbulkan “attack rate” 80-100% pada penduduk yang
rentan. Di seluruh dunia ada 60 juta kasus pertusis setahun dengan lebih dari
500.000 meninggal. Selama masa pra-vaksin tahun 192-1948, pertusis adalah
penyebab utama kematian dari penyakit menular pada anak di bawah usia 14 tahun
di Amerika Serikat. Dilaporkan juga bahwa 50 persen adalah bayi kurang dari
setahun, 75 persen adalah anak kurang dari 5 tahun.
Pertusis terutama mewabah di negara-negara berkembang
dan maju, seperti Italian, daerah-daerah tertentu di Jerman dimana cakupan
vaksin rendah atau Nova Scatia dimana digunakan vaksin yang kurang poten,
dengan angka insidensi rata-rata mencapai 200-500/100.000 populasi dengan angka
kematian 350.000 pada anak dibawah 5 tahun.2 Di Amerika Serikat sendiri
dilaporkan insidensi tertinggi 4500 kasus sejak tahun 1967. namun setelah hal
tersebut, pertusis jarang sekali kasusnya karena sudah lebih di galakkan
vaksinasi.
Pertusis adalah endemik, dengan ditumpangin siklus
endemik setiap 3-4 tahun sesudah akumulasi kelompok rentan yang cukup besar.
Dilaporkan sebagian kasus terjadi dari bulan Juli sampai dengan Oktober. 1,3.
Pertusis sangat menular dengan angka serangan 100% pada individu rentan yang
terpajan pada aerosol dengan rentang yang rapat. Penyebaran terjadi melalui
kontak langsung atau melalui droplet yang ditularkan selama batuk.
Dahulu dikatakan bahwa Perempuan terkena lebih sering
daripada laki-laki dengan perbandingan 0.9:1 . Namun dengan laporan terbaru
(Farizo, 1992) perbandingan insidensi antara perempuan dan laki-laki menjadi
sama sampai umur dibawah 14 tahun. Sedangkan proporsi anak belasan tahun dan
orang dewasa yang terinfeksi pertusis naik secara bersama samapai 27% pada tahun
1992-1993.
Tanpa reinfeksi alamiah dengan B.pertussis atau
vaksinasi booster berulang, anak yang lebih tua dan orang dewasa lebih rentan
terhadap penyakit ini jika terpajan. Sedangkan antibodi dari ibu secara
transplasental pada anak tidaklah konsisten mencegah bayi yang baru lahir
terhadap pertussis. Pertussis pada neonatus yang berat dapat ditemukan dengan
gejala-gejala pertussis normal.
2.4 Patogenesis
Bordella merupakan kokobasili gram negatif yang sangat
kecil yang tumbuh secara aerobik pada agar darah tepung atau media sintetik
keseluruhan dengan faktor pertumbuhan dengan faktor tikotinamid, asam amino
untuk energi dan arang atau resin siklodekstrin untuk menyerap bahan-bahan
berbahaya.
Bordella pertusis menghasilkan beberapa bahan aktif
secara biologis, banyak darinya dimaksudkan untuk memainkan peran dalam
penyakit dan imunitas. Pasca penambahan aerosol, hemaglutinin felamentosa
(HAF), beberapa aglutinogen (terutama FIM2 dan Fim3), dan protein permukaan
nonfibria 69kD yang disebut pertaktin (PRN) penting untuk perlekatan terhadap
sel epitel bersilia saluran pernafasan. Sitotoksin trakhea, adenilat siklase,
dan TP tampak menghambat pembersihan organisme. Sitotoksin trakhea, faktor
demonekrotik, dan adenilat siklase diterima secara dominan, menyebabkan cedera
epitel lokal yang menghasilkan gejala-gejala pernapasan dan mempermudah
penyerapan TP. TP terbukti mempunyai banyak aktivitas biologis (misal,
sensitivitas histamin, sekresi insulin, disfungsi leukosit). Beberapa darinya
merupakan manifestasi sistemik penyakit. TP menyebabkan limfositisis segera
pada binatang percobaan dengan pengembalian limfosit agar tetap dalam sirkulasi
darah. TP tampak memainkan peran sentral tetapi bukan peran tunggal dalam
patogenesis.
2.5 Manifestasi Klinis
Masa inkubasi pertusis rata-rata 7 hari (6-20 hari). Penyakit
umumnya berlangsung selama 6-8 minggu.
Manifestasi klinik tergantung dari etiologi spesifik,
umur dan status imunisasi. Penderita-penderita yang berumur <> 2 tahun.
Jarang timbul panas diatas 38,4°C pada semua golongan umur.
Penyakit disebabkan B. parapertussis dan B.
bronkiseptika lebih ringan dan juga lama sakitnya lebih pendek.
Penyakit ini dibagi menjadi 3 stadium, yaitu:
A.
Stadium
kataral : 1-2 minggu
Gejala-gejala infeksi saluran pernafasan bagian atas
predominan à rinore, “conjuctival injection”, lakrimasi, batuk ringan,
panas tidak begitu tinggi. Pada stadium ini biasanya diagnosis pertussis belum
dapat ditetapkan.
B.
Stadium
paroksismal : 2-4 minggu
Jumlah dan berat batuk bertambah. Khas, ada ulangan
5-10 batuk kuat selama ekspirasi yang diikuti oleh usaha inspirasi masif yang
mendadak yang menimbulkan “whoop” ( udara dihisap secara kuat melalui
glotis yang sempit).
Mukanya merah atau sianosis, mata menonjol, lidah
menjulur, lakrimasi, salivasi dan distensi vena leher selama serangan. Episode
batuk-batuk yang paroksimal dapat terjadi lagi sampai obstruksi “mucous plug”
pada saluran nafas menghilang.
Pada stadium paroksismal dapat terjadi petekia pada
kepala dan leher atau perdarahan konjungtiva. Emesis sesudah batuk dengan
paroksimal adalah cukup khas sehingga anak dicurigai menderita pertussis
walaupun tidak ada “whoop”. Anak tampak apatis dan berat badan menurun. Serangan-serangan
dapat dirangsang dengan menguap, bersin, makan, minum, aktivitas fisik atau
malahan sugesti. Diantara serangan penderita tampak sakit minimal dan lebih
enak. “Whoop” dapat tidak ditemukan pada beberapa penderita terutama
bayi-bayi muda.
C.
Stadium
Konvalesens : 1-2 minggu
Episode paroksimal batuk dan muntah sedikit demi
sedikit menurun dalam frekuensi dan beratnya. Batuk dapat menetap untuk
beberapa bulan. Pemeriksaan fisik umumnya tidak informatif.
Pada stadium paroksismal dapat terjadi petekia pada
kepala dan leher atau perdarahan konjungtiva. Pada beberapa penderita terjadi
ronki difus.
2.6 Diagnosis
a. Pertusis dapat didiagnosis selama stadium paroksismal.
Sukar pada bayi-bayi yang sangat muda, adolesens, dan pada orang dewasa oleh
karena mempunyai manifestasi yang atipis.
b. Riwayat kontak dengan kasus-kasus pertusis sangatlah
menolong, tetapi umumnya riwayat ini negatif pada populasi yang telah banyak
mendapat imunisasi.
c. Batuk lebih dari 2 minggu dengan emesis sesudah batuk
mempunyai nilai diagnostik yang penting.
d. Leukositosis (20.000-50.000/mm³ darah) dengan limfositosis
absolut khas, pada bayi-bayi jumlah leukosit tidak dapat menolong untuk
diagnosis, oleh karena respon limfositosis terdapat pula pada banyak infeksi.
e. Foto toraks dapat memperlihatkan infiltrat perihiler,
atelaktasis atau empiema.
f. Diagnostik spesifik tergantung dari didapatkannya
organisme, terbaik diperiksa selama fase awalpenyakit dengan melakukan apus
nasofaring yang dibiak pada media Bordet-Gengou. “Direct flourescent antibody
staining” dari spesimen faring dapat membedakan diagnosis spesifik secara
tepat.
g. Diagnosis serologis dapat dilakukan dengan penentuan
antibodi toksin pertussis dari sepasang serum.
h. Tes ELISA dapat dipakai untuk menentukan IgM, IgG, dan
IgA serum terhadap “filamentous hemoaglutinin (FHA)” dan toksin pertussis (TP).
nilai IgM-FHA dan IgM-TP serum tidak bernilai dalam penentuan seropositif oleh
karena menggambarkan respon imun primer dan dapat disebabkan oleh penyakit atau
vaksinasi. IgG langsung terhadap toksin pertussis merupakan test yang paling
sensitif dan spesifik untuk infeksi akut. IgA-FHA dan IgA-TP kurang sensitif
daripada IgG-TP tetapi sangat spesifik untuk infeksi natural dan tidak terlihat
sesudah imunisasi pertussis.
i. Tidak ada test tunggal berlaku saat ini yang sangat
sensitif dan sangat spesifik untuk menentukan infeksi B. pertussis selama semua
fase penyakit.
j. Kultur paling positif pada fase kataral dan awal
paroksimal dan seharusnya dilakukan pada semua kasus yang tersangka. Test
serologis berguna pada stadium lanjut penyakit dan untuk menentukan adanya
infeksi pada individu dengan kultur negatif.
2.7 Komplikasi
a.
Terutama
pada sistem respirasi dan saraf pusat.
Pneumonia komplikasi paling sering terjadi pada ±90%
kematian pada anak-anak. B.Pertussis sendiri tetapi lebih sering karena
bakteria sekunder (H.influenzae, S.Pneumonia, S.auris, S.piogenes).
b.
TBC
laten dapat juga di aktifer.
c.
Atelektasis
dapat timbul sekunder oleh karena ada sumbatan mukus yang kental. Aspirasi
mukus atau muntah dapat menimbulkan pneumonia.
d.
Panas
tinggi sering menandakan adanya infeksi sekunder oleh bakteria.
e.
Batuk
dengan tekanan tinggi dapat menimbulkan ruptur alveoli, empisema
interstitiel/subkutan dan pneumotoraks. Bronkiektasia dapat timbul dan menetap.
f.
Sering
terjadi otitis media yang sering disebabkan oleh S.pneumonia. Perdarahan
subkonjungtiva, hematoma, perdarahan epidural, perdarahan intrakranial, ruptura
diafragma, hernia umbikalis, hernia inguinalis, prolapsus rekti, dehidrasi dan
gangguan nutrisi.
g.
Dapat
pula terjadi konvulsi dan koma, merupakan refleksi dari hipoksia serebral
(asfiksia), perdarahan subarachnoid, tetapi kadang-kadang kejang dapat
disebabkan oleh temperatur tinggi.
h.
Kejang-kejang
oleh karena hiponatremia yang sekunder terhadap “syndrome of inappropriate
secretion of antidiuretic hormone (SIADH)”.
2.8 Pencegahan
Pencegahan yang dilakukan secara aktif dan secara pasif:
a.
Secara
aktif
1.
Dengan pemberian imunisasi DTP dasar diberikan
3 kali sejak umur 2 bulan(DTP tidak boleh dibrikan sebelum umur 6 minggu)dengan
jarak 4-8 minggu. DTP-1 deberikan pada umur 2 bulan,DTP-2 pada umur 4 bulan dan
DTp-3 pada umur 6 bulan. Ulangan DTP selanjutnya diberikan 1 tahun setelah
DTP-3 yaitu pada umur 18-24 bulan,DTP-5 pada saat masuk sekolah umur 5 tahun.
Pada umur 5 tahun harus diberikan penguat ulangan DTP. Untuk meningkatkan
cakupan imunisasi ulangan,vaksinasi DTP diberika pada awal sekolah dasar dalam
program bulan imunisasi anak sekolah(BIAS).
Beberapa penelitian menyatakan bahwa vaksinasi
pertusis sudah dapat diberikan pada umur 1 bulan dengan hasil yang baik
sedangkan waktu epidemi dapat diberikan lebih awal lagi pada umur 2-4 minggu.
Kontra indikasi pemberian vaksin pertusis :
ü Panas yang lebih dari 38 derajat celcius
ü Riwayat kejang
ü Reaksi berlebihan setelah imunisasi DTP sebelumnya,
misalnya suhu tinggi dengan kejang, penurunan kesadaran, syok atau reaksi
anafilaktik lainnya.
2.
Perawat
sebagai edukator
Melakukan penyuluhan kepada masyarakat khususnya
kepada orang tua yang mempunyai bayi tentang bahaya pertusis dan manfaat
imunisasi bagi bayi.
b.
Secara pasif
Secara pasif pencegahan dapat dilakukan dengan
memberikan kemopropilaksis. Ternyata eritromisin dapat mencegah terjadinya
pertussis untuk sementara waktu.
2.9 Pengobatan
a. Eritromisin : 50 mg/kg BB/hari selama 114 hari dapat
mengeliminasi organisme pertussis dari nasofaring dalam 3-4 hari.
b. Eritromisin biasanya tidak memperbaiki gejala-gejala
jika diberikan terlambat.
c. Suportif : terutama menghindarkan faktor-faktor yang
menimbulkan serangan batuk, mengatur hidrasi dan nutrisi
d. Oksigen diberikan pada distres pernapasan akut/kronik.
e. Penghisapan lendir terutama pada bayi dengan pneumonia
dan distres pernapasan.
f. Betametason dan salbutamol (albuterol) dapat
mengurangi batuk paroksismal yang berat walaupun kegunaannya belum dibuktikan
melalui penelitian kontrol.
g. Penekan batuk (“suppressants”) tidak menolong.
BAB III PENTUTUP
Pertusis merupakan salah satu penyakit menular yang
menyerang saluran pernapasan bagian atas, disebabkan terutama oleh Bordetella
pertussis. Pertusis ditandai dengan batuk lama dan kadang-kadang terdengar
seperti menggonggong (whooping cough) dan episode diakhir dengan ekspulsi dari
secret trakea,silia lepas dan epitel nekrotik.
Pertusis sering menyerang bayi dan anak-anak kurang
dari 5 tahun, terutama yang belum diimunisasi lebih rentan, demikian juga
dengan anak lebih dari 12 tahun dan orang dewasa.
Stadium penyakit pertusis meliputi 3 stadium yaitu
kataral, paroxsismal, dan konvalesen. Masing2 berlangsung selama 2 minggu. Pada
bayi, gejala menjadi lebih jelas justru pda stadium konvalesen. Sedangkan pada
orang dewasa mencapai puncaknya pada stadium paroxsismal.
Diagnosa pertusis dengan gejala klinis memuncak pada
stadium paroksismal, riwayat kontak dengan penderita pertusis, kultur apus
nasofaring, ELISA, foto thorax. Terapi yang dapat diberikan antibiotic
eritromisin 50mg/kgB/hari dibagi 4 dosis selama 14 hari, dan suportif.
3.2 Saran
Bayi sangat rentan terhadap infeksi pertusis, oleh
karena itu dianjurkan pemberian vaksin DTP pada usia 2, 4, dan 6 bulan sesuai
dengan Program Pengembangan Imunisasi untuk mencegah infeksi yang berat. Vaksin
booster dianjurkan pada usia 4 tahun dan 15 tahun karena imunisasi dasar
pertusis tidak memberi kekebalan permanen. Selain itu bila ada kontak erat
dengan penderita pertusis perlu diberikan profilaksis eritromisin dan isolirkan
penderita, jika tidak mungkin memutus kontak, maka perlu diberi eritromisin
profilaksis hingga batuk berhenti.
DAFTAR PUSTAKA
Behram,
klieman
& Nelson. 2000.
”Ilmu kesehatan anak”. Jakarta : EGC
Mansjoer,
Arif. 2000. Kapita selekta Kedokteran
jilid 2. Jakarta : Media Aesculapius
http://referensikedokteran.blogspot.com/2010/07/pertusis.html. Diterbitkan tanggal 19 Juli
2010. Diunggah tanggal 04 Januari 2014.